Cara Mudah Merwat Jiwamu untuk Hal-Hal yang Abadi
Cara Mudah Merwat Jiwamu untuk Hal-Hal yang Abadi – Selama berabadabad, ajaran spiritual selalu mengarahkan kita untuk melihat ke hati dan jiwa sebagai sumber kebijaksanaan, kebenaran, kedamaian, dan kehidupan yang abadi.
Disebut hati dan jiwa karena bagian terdalam dari diri kita ini paling terasa di sekitar jantung secara fisik. Tapi sebenarnya, hati dan jiwa bukan hanya soal letaknya di tubuh, melainkan seluruh koneksi kita dengan sifat sejati kita yang tanpa batas.
Kalau kita benarbenar ingin memahami siapa diri kita yang sebenarnya, kita perlu menyadari bahwa sifat penuh cinta, bijaksana, dan damai dari hati dan jiwa itu bukan sekadar pengalaman, tapi memang itulah kita.
Hati dan jiwa dengan semua rasa bahagia, damai, cinta, dan kebijaksanaannya bukan cuma sesuatu yang bisa kita alami lebih dalam, tapi memang itulah diri kita yang sejati sejak dulu.
Saat kita benarbenar menyadari bahwa kita adalah bagian dari keberadaan yang penuh dan lengkap ini, kita bisa benarbenar tenang—tanpa harus terus-menerus khawatir soal urusan duniawi.
Kehidupan Abadi dan Dirimu
Rawatlah jiwamu untuk hal-hal yang abadi, dan kurangi keterikatan pada hal-hal duniawi yang sifatnya sementara.
Kebijaksanaan
Kebenaran itu membuka hati dan jiwa.
Kita semua sebenarnya punya kemampuan untuk merasakan kebenaran.
Hati dan jiwa kita sudah dari sananya menunjukkan mana yang benar.
Apa pun yang membuat kita makin terhubung dengan kenyataan yang lebih besar, itu artinya kita semakin dekat dengan sisi spiritual. Saat pengalaman kita membawa kita lebih dekat dengan kebenaran, kita akan merasa lebih terbuka, lebih lembut, lebih luas, lebih tenang, dan lebih puas.
Terhubung Dengan Diri Sendiri, Bukan Dengan Barang
Rasa ini biasanya paling terasa di bagian tengah dada, tapi sebenarnya hati dan jiwa itu tak terbatas, lebih besar dari tubuh kita sendiri.
Jadi perasaan terbuka dan meluas itu sebenarnya terjadi di manamana—kita cuma paling bisa merasakannya dengan jelas di tengah dada.
Saat kita menyentuh kebenaran, rasa diri kita jadi lebih lembut, luas, dan terasa penuh. Dunia kita jadi terasa lebih besar, lengkap, dan tidak terbatas.
Rasarasa sempit, kurang, atau tertekan bisa berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Sebagai efek sampingnya, pikiran kita pun jadi lebih tenang, karena tidak terlalu banyak yang harus dipikirkan. Bahkan cuma tahu di mana kunci kita berada saja bisa membuat pikiran lebih santai.
Apalagi kalau kita menyentuh suatu kebenaran besar—otak kita bisa sangat tenang, seperti saat pertama kali melihat laut yang luas. Kebenaran itu begitu besar, sampai otak kita seolah berhenti sejenak.
Sebaliknya, kalau pengalaman kita membawa kita menjauh dari kenyataan atau kebenaran, hati dan jiwa kita jadi sempit.
Dunia terasa sempit, berat, tertekan, tidak lengkap, terbatas.
Kita bisa merasa kecil, tidak layak, atau rendah diri.
Tapi kabar baiknya, keberadaan kita sebenarnya tidak pernah mengecil—yang mengecil hanyalah persepsi atau perasaan kita tentang diri sendiri.
Sama seperti saat kita menutupi sebagian mata, kita memang merasa ruangan jadi lebih sempit, tapi sebenarnya ruangan itu tetap sama luasnya. Begitu juga dengan pikiran atau ide yang tidak benar—itu hanya membuat kita merasa kecil, padahal keberadaan kita tetap utuh.
Latihan:
Coba luangkan waktu sebentar untuk merasakan hati dan jiwamu.
Perhatikan, apakah terasa sempit atau terbuka?
Apapun rasanya, itu adalah cara hati dan jiwa memberi tahu seberapa besar kebenaran yang sedang kamu alami saat ini. Tidak ada cara yang salah—semuanya menunjukkan kebenaran relatif dari momen ini.
Kebenaran adalah apa yang ada saat ini.
Jadi kalau yang ada adalah kebenaran, maka sebenarnya hanya ada kebenaran.
Apa pun yang ada saat ini adalah benar, hanya saja tingkat kebenarannya bisa berbedabeda.
Seperti tidak ada materi atau energi yang benarbenar “gelap”—yang ada hanyalah tingkat terang yang berbeda. Begitu juga, tidak ada “kebohongan mutlak”—yang ada hanyalah kadar kebenaran yang berubahubah.
Keterbukaan atau ketertutupan hati dan jiwa kita di setiap saat adalah petunjuk seberapa besar kebenaran yang sedang kita terima.
Lalu bagaimana dengan pikiranpikiran yang keliru?
Misalnya, kamu berpikir bahwa kamu tidak akan pernah bahagia kalau belum punya 1 juta dolar.
Hati dan jiwamu akan merespons dengan rasa menyempit—menandakan bahwa itu cuma pikiran, bukan kebenaran.
Respons ini bisa sangat cepat, sampaisampai tidak terasa. Tapi kalau kamu sungguh percaya, maka perasaan dirimu akan terus menyempit selama pikiran itu bertahan.
Latihan:
Coba selama satu menit, pikirkan ide membatasi seperti:
“Saya tidak akan pernah punya cukup waktu.”
Perhatikan reaksinya. Apakah ide ini membuat kamu santai, atau justru membuatmu merasa tegang?
Sekarang coba pikirkan ide lain yang jelasjelas tidak masuk akal, misalnya:
“Saya tidak akan bahagia kecuali saya jadi presiden Microsoft.”
Kemungkinan kamu akan sulit mempertahankan pikiran ini, mungkin bahkan jadi tertawa.
Banyak pikiran yang membatasi itu benar—tapi hanya benar sebagai pikiran.
Kalau hanya hidup sebagai ide saja, keberadaannya sangat kecil.
Dalam kehidupan seharihari, pikiranpikiran kita punya tingkat kebenaran yang berbedabeda.
Pikiran yang lebih dekat ke kenyataan tidak akan membuat kita merasa sempit atau terbebani.
Sebaliknya, pikiran yang jauh dari kebenaran bisa menyempitkan rasa diri kita—meski tidak mengubah siapa kita sebenarnya.

Keyakinan
Banyak keyakinan dan anggapan yang membentuk dan membatasi cara kita menjalani hidup, cara kita berhubungan dengan orang lain, serta bagaimana kita memandang diri sendiri—bahkan ketika kita tidak sadar sedang memikirkannya.
Keyakinan itu bisa berupa pikiran atau konsep yang sudah kita percayai sejak lama tanpa pernah dipertanyakan, seperti “hidup itu singkat” atau “saya harus punya lebih banyak uang.”
Pemikiranpemikiran seperti ini akan melahirkan pikiran lain yang menambah beban di kepala dan membuat hati dan jiwa kita terasa sempit atau tertekan. Akhirnya, rasa tentang diri sendiri jadi kecil dan terbatas.
Cara Kita Berpikir
Keyakinan sangat memengaruhi cara kita merasakan dunia. Salah satu keyakinan yang paling umum adalah keyakinan bahwa hidup harus “diatur” menuju sesuatu yang lebih baik—entah itu lebih banyak, lebih berbeda, atau lebih bagus dari sekarang.
Kadang bentuknya juga kebalikannya: “jangan sampai lebih buruk,” “minimal tetap sama,” atau “asal jangan lebih sedih.”
Intinya, ada pemikiran mendalam bahwa hidup harus berubah ke arah tertentu.
Dan karena memang hidup terus berubah, kita jadi terus berharap perubahan itu akan sesuai harapan.
Tapi keyakinan bahwa hidup harus lebih baik menyiratkan bahwa diri kita saat ini kurang.
Artinya, harus ada yang ditingkatkan, harus ada yang diperbaiki.
Ini membuat kita melihat diri kita sebagai pribadi kecil dan tidak lengkap.
Dengan kata lain, dunia terasa sempit karena tolak ukurnya adalah “aku yang kecil ini.”
Keyakinan kedua, yang bahkan lebih dalam dan lebih tidak kita sadari, adalah anggapan bahwa pengalaman fisik adalah hal yang paling nyata.
Keyakinan ini sangat umum, sampaisampai kalau kamu merasa lebih tertarik pada hal spiritual atau intuitif, kamu bisa dianggap “nggak masuk akal.”
Bahkan orangorang yang sangat peka dan sudah mengalami momen spiritual yang mendalam, sering kali tetap ditarik kembali oleh keyakinan bahwa “yang nyata itu yang bisa diraba.”
Padahal kenyataannya, kebenaran itu tidak cuma ada di dunia fisik.
Sebagai manusia, kita bisa merasakan banyak dimensi:
pikiran,
perasaan,
intuisi,
dan bahkan kehadiran yang utuh dan tenang.
Banyak dari pengalaman ini sebenarnya lebih nyata daripada pengalaman fisik.
Ketika kita mengalami kenyataan yang lebih dalam ini, rasa tentang diri kita pun terasa lebih luas dan sempurna dibandingkan hanya dari sudut pandang tubuh fisik.
Dua keyakinan tadi (bahwa hidup harus lebih baik dan bahwa yang fisik adalah yang paling nyata) memperkuat satu anggapan dasar lagi: bahwa kita adalah pusat dari kenyataan.
Artinya, hidup kita sering diukur dengan pertanyaan,
“Bagaimana kabarnya aku hari ini? Hidupku makin baik? Makin menyenangkan? Atau setidaknya nggak menyakitkan?”
Sudut pandang seperti ini memang wajar, tapi sebenarnya terbatas.
Ibaratnya cuma nonton satu channel TV padahal masih banyak saluran lain yang lebih menarik dan bermakna.
Pandangan sempit ini bisa memengaruhi semua pengalaman kita.
Kalau kita cuma fokus pada “aku” sebagai pusat dunia, kita bisa kehilangan pengalaman hidup yang paling dalam dan berharga.
Bahkan kebenaran terbesar sekalipun mungkin tidak terasa menyenangkan buat “aku” kecil itu.
Kadang cinta dan kebahagiaan yang mendalam bisa terasa melelahkan kalau dilihat hanya dari sudut pandang fisik.
Latihan:
Coba tanyakan ke diri sendiri:
Bagaimana rasanya percaya bahwa “aku adalah pusat dari kenyataan”?
Apakah ini membuat hatimu terasa rileks dan terbuka, atau justru membuatmu merasa sempit dan tegang?
Kalau kamu bisa mengakui bahwa jadi “pusat realita” itu sebenarnya tidak lengkap, biasanya akan muncul rasa ingin tahu:
Apa lagi yang nyata tentang diriku?
Apa aku lebih dari sekadar pusat kenyataan?
Apa saja saluran lain yang bisa kutonton di TV bernama “kisah hidupku”?
Di balik anggapan bahwa kita adalah pusat dari kenyataan, ada anggapan yang lebih dalam lagi: bahwa kita ini ada sebagai diri yang terpisah, sebagai sosok individu yang terpisah dari segalanya.
Rasa “aku” yang paling umum adalah perasaan terpisah, yang sebenarnya hanya pandangan sempit tentang siapa kita.
Bukan berarti itu salah—tapi ya terbatas.
Saat kita mengalami momen spiritual atau kesadaran yang sangat dalam, perasaan tentang diri bisa jadi sangat luas, sampai kita tidak lagi merasa terpisah.
Ketika kita merasa menyatu dengan segala sesuatu—dengan kursi tempat kita duduk, dengan awan di langit, dan seluruh alam semesta—istilah “aku” pun jadi terasa terlalu sempit.
Cinta
Segala hal yang pernah kamu capai—dan yang pernah dicapai orang lain—selalu didorong oleh cinta.
Yang membentuk arah cinta itu adalah rasa tentang diri sendiri (si “aku”).
Sepanjang waktu, yang sebenarnya kita lakukan adalah merawat diri, entah itu diri dalam versi kecil (terbatas) atau versi yang lebih luas.
Kalau rasa “aku” itu sempit, kita hanya peduli pada bagian kecil itu saja.
Tapi kalau rasa “aku” itu lebih luas, kita juga akan peduli pada bagian yang lebih besar dari diri kita.
Apa pun yang kita lakukan sebenarnya adalah usaha untuk merawat diri sendiri sebaik yang kita bisa—dan itu selalu merupakan bentuk cinta.
Tapi Masalahnya…
Kalau tindakan kita hanya fokus merawat bagian “aku” yang sempit, maka kita jadi tidak mempedulikan halhal lain.
Contohnya:
Kita bisa saja terlalu memanjakan lidah, tapi malah mengorbankan kesehatan tubuh.
Atau kita terlalu melekat pada satu pemikiran sampai tidak bisa melihat keseluruhan diri kita.
Merawat hanya bagian tertentu seperti perasaan atau keinginan tubuh memang tetap bentuk cinta, tapi karena itu dilakukan dengan cara yang sempit, bisa jadi malah mengabaikan atau bahkan merusak bagian lain dari keberadaan kita.
Membuka Diri
Kita mungkin takut, kalau kita melihat cinta dalam segala hal, itu berarti kita akan membiarkan halhal buruk seperti kekerasan atau pembunuhan terus terjadi—karena itu juga bentuk cinta yang “sempit” dari orang yang sedang sangat terpisah dari rasa kemanusiaannya.
Tapi sebenarnya, kita bisa menyadari cinta yang memang sudah ada dalam diri kita dan bekerja melalui diri kita.
Dengan menyadari keberadaan cinta itu, kita justru akan bisa mengenal cinta secara lebih dalam.
Sebaliknya, kalau kita menolak aspek cinta tertentu (termasuk apa pun yang sedang terjadi saat ini), maka pengalaman kita akan terasa semakin sempit, dan tindakan kita pun akan menjadi kurang tulus mencintai.
Aneh tapi nyata, saat kita terlalu sibuk menghakimi sesuatu, tanpa sadar kita justru menjadi mirip dengan apa yang kita hakimi.
Menjadi Diri yang Penuh Cinta
Menjadi berarti merawat diri sendiri dan terhubung dengan kekuatan yang lebih besar.
Ini membawa kita pada rasa syukur, baik untuk halhal yang kita lakukan maupun halhal yang terjadi pada kita.
Kita mulai menghargai bagaimana hidup bergerak dan mengalir di setiap momennya.
Cinta itu mengalir di manamana—dan tidak ada bukti bahwa cinta itu hilang.
Sungguh mengejutkan saat kita menyadari hal ini, apalagi di dunia yang tampaknya penuh masalah dan halhal yang “perlu diperbaiki.”
Di budaya kita, sering muncul anggapan bahwa “semakin besar” berarti “semakin baik.”
Jadi, kalau hati dan jiwa kita bisa terbuka dan melebar, kita pun terdorong untuk mencari cara agar bisa selalu terbuka seluasluasnya dan tetap seperti itu terus.
Padahal, kalau hati dan jiwamu memang selalu terhubung dengan sesuatu yang lebih besar (sumber kehidupan, kekuatan ilahi, atau semesta), dan bisa membuka atau menutup sesuai dengan kebenaran dari momen yang kamu alami, maka:
➡️ Saat kamu mengalami kebenaran yang kecil, hati dan jiwamu akan menyempit—dan itu hal yang baik, karena itu menunjukkan bahwa kebenaran yang kamu alami memang kecil.
Yang Penting Bukan Besar atau Kecilnya
Kamu nggak harus selalu punya pengalaman yang besar atau luar biasa.
Karena sekecil apa pun pengalaman itu, ia tetaplah bagian dari keberadaanmu.
Dan keberadaan itu sendiri punya sifat yang selalu utuh—termasuk kemampuan untuk membedakan mana pengalaman yang benarbenar dalam dan mana yang cuma sepintas.
Kebebasan Sejati
Kebebasan yang sebenarnya adalah ketika kamu bisa keluar masuk dari pengalaman “diri” yang besar atau kecil itu.
Kamu nggak perlu percaya langsung katakataku.
Coba saja rasakan sendiri—apa yang terjadi di hati dan jiwamu kalau kamu membiarkan rasa tentang dirimu terbuka dan menutup dengan sendirinya, sesuai keadaan hari ini.
Mungkin…
Kamu bisa berhenti sejenak dari keinginan untuk mengalami dan memiliki segalanya.
Cara Terhubung dengan Dunia Sementara
Bertemanlah dengan para malaikat. Walau tidak terlihat, mereka selalu ada di sampingmu…
Seringlah “memanggil” mereka dan manfaatkan bantuan serta dukungan mereka, baik dalam hal duniawi maupun spiritual.
Kita sebenarnya selalu ditemani oleh malaikat, entah kita sadar atau tidak, percaya atau tidak. Mereka tetap berada di sisi kita—membimbing dan melindungi—dengan kasih yang tanpa syarat.
Berhubungan dengan malaikat bisa menjadi pengalaman yang sangat berharga dan memuaskan secara spiritual.
Di bagian ini, kamu akan belajar cara untuk lebih dekat dengan malaikatmu, bagaimana cara menjalin hubungan dengan mereka, serta mendapatkan wawasan, perlindungan, bimbingan, atau ketenangan dari hubungan itu.
Menyentuh Dimensi Lain
Langkah pertama untuk bisa terhubung dengan malaikat adalah meluangkan waktu untuk melakukannya.
Cukup ambil beberapa menit setiap hari untuk berkomunikasi, menyapa, atau sekadar mengucapkan terima kasih atas keberadaan mereka.
Jangan khawatir kalau di awal tidak terjadi apaapa—yang penting kamu sudah mengakui bahwa mereka ada. Itu sudah merupakan langkah besar.
Malaikat adalah utusan dan pembantu dari kekuatan yang lebih tinggi. Mereka melihatmu dengan kasih tanpa syarat dan akan selalu hadir untukmu—siang maupun malam.
Kalau kamu ingin bantuan dari malaikat, yang perlu kamu lakukan hanyalah meminta.
Apa pun yang kamu lakukan, katakan, pikirkan, atau rasakan tidak akan membuat malaikat meninggalkanmu.
Cara Praktisnya
Setelah kamu menyisihkan waktu untuk berhubungan dengan malaikat:
1. Cari tempat yang tenang.
2. Tenangkan dirimu dengan mengambil beberapa napas panjang dan dalam.
3. Kosongkan pikiranmu. Fokus saja pada napas—tarik lewat hidung, buang lewat mulut.
Saat kamu sudah merasa tenang dan benarbenar hadir di saat ini, bayangkan cahaya terang berwarna putih atau emas memenuhi dan mengelilingimu.
Tutup matamu dan bayangkan cahaya penuh cinta itu menyinari tubuhmu, mengisi setiap bagian dirimu dengan rasa kasih tanpa syarat.
Setelah itu, ucapkan doa (nggak perlu doa panjang atau formal). Cukup niatkan permohonan pribadi dari hatimu:
Minta perlindungan dan bimbingan dari kekuatan yang lebih tinggi.
Minta bantuan dalam menjalin hubungan dengan malaikatmu.
Undang mereka untuk mengelilingimu.
Perhatikan sensasi atau perasaan yang muncul—bisa jadi itu adalah tandatanda malaikat sedang mencoba menyapamu.
Mintalah Apa yang Kamu Butuhkan
Sampaikan permintaan, pertanyaan, atau minta petunjuk dan bantuan.
Malaikat akan merespons dengan caranya sendiri, walau kamu tidak bisa melihat mereka secara langsung.
Tandanya bisa muncul dalam berbagai bentuk:
bisikan halus,
ide yang tibatiba muncul,
atau bahkan sesuatu dari alam seperti kupukupu atau burung yang lewat.
Perhatikan baikbaik tandatanda, ide, perasaan, atau suara yang datang padamu—karena itu bisa jadi adalah jawabannya.
Cara Malaikat Berkomunikasi
Malaikat bisa menyampaikan pesan lewat banyak cara, seperti:
mimpi,
kejadian kebetulan (kebetulan yang terasa “tepat”),
pemikiran atau inspirasi,
simbol dari alam seperti kupukupu atau angkaangka berulang,
lagu tertentu,
bahkan lewat orang lain (baik yang kamu kenal maupun tidak).
Jadi, selama beberapa hari ke depan, buka hatimu dan perhatikan. Sangat mungkin kamu akan menemukan jawabannya.
Setelah Selesai
Saat kamu merasa sudah selesai “berkomunikasi” dengan malaikatmu:
Ucapkan terima kasih.
Lepaskan harapan atau ekspektasi tentang apa yang harus kamu rasakan, lihat, atau dengar.
Percayalah bahwa kamu akan mendapatkan bantuan atau petunjuk yang kamu butuhkan—meskipun datang dengan cara yang tak terduga.
Kamu akan tahu bahwa itu memang datang dari malaikat jika pesannya penuh kasih, berulang, dan konsisten.
Yang paling penting adalah niatmu saat memanggil mereka.
Sambungkan Terus
Sebenarnya, berhubungan dengan malaikat itu sangat mudah.
Malaikat senang sekali saat kamu secara sadar mencoba terhubung dengan mereka.
Mereka ingin kamu mengandalkan mereka, bahkan untuk halhal yang kamu anggap sepele.
Mereka sangat senang diberi kesempatan untuk menunjukkan keberadaan mereka lagi dan lagi.
Mulailah sekarang membangun hubungan yang semakin erat dengan malaikatmu (atau dengan pembimbing spiritualmu lainnya), dan lihat bagaimana hidupmu akan mulai terasa lebih baik.
Kamu akan mulai merasakan keajaiban dan keindahan bermunculan dalam hidupmu.
Penutup
Mungkin, pengalaman tentang kehidupan abadi dan koneksi dengan halhal yang bukan duniawi tidak harus kita buruburu miliki sekaligus.
Kita bisa menikmatinya perlahan, seperti menikmati makanan atau cerita yang indah—sedikit demi sedikit, bukan terburuburu.
Kita sebenarnya selalu sedang mengenali kebenaran, bahkan jika yang kita sadari baru sedikit saja.
Kelengkapan hidup ini juga tercermin dari kebenarankebenaran kecil yang ada di setiap hari kita.
Hidup tidak pernah rusak hanya karena kita punya sudut pandang yang terbatas.
Keberadaan itu tidak tergantung pada satu cara tertentu dalam merasakan diri—bahkan tidak tergantung pada ada atau tidaknya “rasa diri”.
Kehidupan ini sudah beristirahat dengan tenang di dalam bukatutupnya hati dan jiwamu.
Jadi, mungkin sekarang kamu bisa mulai menikmati perjalanannya.
Sekian Cara Mudah Merwat Jiwamu untuk Hal-Hal yang Abadi, Semoga Bermanfaat. Baca Juga Cara Mudah Tingkatkan Emotional Quotient