Cara Ngatur Diri Biar Nggak Gampang Kebawa Emosi
Cara Ngatur Diri Biar Nggak Gampang Kebawa Emosi – Secara umum, Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence atau EI) itu artinya kemampuan seseorang untuk memahami, mengendalikan, dan menilai emosi—baik emosi diri sendiri maupun emosi orang lain.
Daftar isi
- 1 Apa Itu Kecerdasan Emosional?
- 2 Tiga Jenis Definisi Utama Kecerdasan Emosional
- 3 Otak Emosional
- 4 Kenapa Kita Bisa Bertindak Emosional?
- 5 Apa Itu “Emotional Hijacking”?
- 6 Cara Menguatkan Kecerdasan Emosional (EI) & Bikin Kecerdasan Kamu Makin Terpakai
- 7 Strategi Mengenal Diri Sendiri
- 8 Ngatur Diri Bukan Cuma Soal Suka dan Nggak Suka
- 9 Cara Ngatur Hubungan dengan Orang Lain
- 10 10 Latihan untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional (EI) Tim Kamu
- 11 Pikiran Terakhir
Apa Itu Kecerdasan Emosional?
Kecerdasan emosional ini tergolong bidang ilmu yang masih cukup baru. Akar pemikirannya sudah ada sejak zaman Darwin yang bilang kalau ekspresi emosi itu penting buat bertahan hidup. Tapi di awal tahun 1900-an, orang-orang lebih fokus bahas kecerdasan dari sisi otak aja, kayak daya ingat dan kemampuan memecahkan masalah. Walaupun begitu, udah ada beberapa peneliti yang mulai sadar pentingnya sisi non-otak atau non-kognitif.
Tahun 1920, seorang peneliti bernama E. L. Thorndike pakai istilah “kecerdasan sosial” buat ngejelasin kemampuan memahami dan mengelola orang lain.
Istilah “Kecerdasan Emosional” sendiri mulai dikenal dari tesis doktoralnya Wayne Payne tahun 1985 yang judulnya A Study of Emotion: Developing Emotional Intelligence. Tapi, baru benar-benar ramai dibahas orang setelah Daniel Goleman nulis buku bestseller tahun 1995 yang judulnya Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ dan diangkat oleh majalah Time.
Setelah itu, dua peneliti bernama Peter Salovey dan John D. Mayer jadi tokoh utama yang mendalami soal kecerdasan emosional ini. Menurut mereka, kecerdasan emosional adalah bagian dari kecerdasan sosial, yang artinya kemampuan buat mengamati perasaan dan emosi sendiri maupun orang lain, membedakan emosi-emosi itu, dan menggunakan info tersebut buat berpikir dan bertindak.
Sampai sekarang, masih banyak model atau pendekatan berbeda untuk mendefinisikan kecerdasan emosional ini. Para ahli pun belum sepakat tentang definisinya. Ada yang bilang kecerdasan emosional itu bisa dilatih, ada juga yang yakin itu bawaan sejak lahir. Intinya, bidang ini terus berkembang, dan para peneliti pun masih sering memperbarui definisi mereka sendiri.
Tiga Jenis Definisi Utama Kecerdasan Emosional
1. Model Kemampuan (Ability EI Models)
2. Model Campuran (Mixed Models)
3. Model Sifat (Trait EI Model)
1. Model Kemampuan (Ability EI Models)
Model ini menganggap bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali emosi, memadukan emosi dengan pikiran, memahami emosi, dan mengelola emosi demi pertumbuhan pribadi.
Penjelasan singkatnya gini:
Mengenali emosi: Bisa “ngebaca” emosi orang lewat ekspresi wajah, suara, gambar, atau budaya. Ini dasar banget, karena dari sinilah kita bisa mulai memahami emosi.
Menggunakan emosi: Bisa memakai emosi kita sendiri buat bantu mikir dan nyelesain masalah. Jadi, suasana hati bisa dipakai buat ngatur hidup lebih baik.
Memahami emosi: Mampu mengerti bahasa emosi, termasuk emosi yang rumit, supaya bisa lebih baik dalam menghadapi hubungan yang emosional.
Mengelola emosi: Kemampuan buat ngontrol emosi diri sendiri maupun orang lain supaya hasil akhirnya sesuai harapan.
2. Model Campuran (Mixed Models)
Ini adalah model yang dikenalkan oleh Daniel Goleman, yang bilang bahwa kecerdasan emosional itu adalah gabungan dari berbagai keterampilan dan kemampuan yang bikin seseorang jadi pemimpin yang baik.
Empat hal utama dari model ini adalah:
1. Kesadaran diri (self-awareness): Bisa mengenali emosi diri sendiri, ngerti dampaknya, dan menggunakannya buat bantu ambil keputusan.
2. Manajemen diri (self-management): Bisa mengontrol emosi dan dorongan hati, serta bisa menyesuaikan diri dengan situasi.
3. Kesadaran sosial (social awareness): Bisa peka dan ngerti emosi orang lain dalam situasi sosial.
4. Kemampuan membangun hubungan (relationship management): Bisa menginspirasi, memengaruhi, dan terhubung dengan orang lain, serta menyelesaikan konflik.
3. Model Sifat (Trait EI Model)
Model ini melihat kecerdasan emosional sebagai kumpulan persepsi seseorang terhadap kemampuan emosional dirinya sendiri, dan letaknya ada di bagian kepribadian yang lebih dalam.
Berbeda dari model kemampuan yang menilai kemampuan nyata, model sifat ini lebih ke “apa yang kamu rasakan tentang dirimu sendiri” dalam hal emosi. Tapi karena kemampuan emosional itu susah banget diukur secara ilmiah, kenyataannya batas antara dua model ini juga nggak begitu tegas.
Kalau kamu tertarik mendalami lebih jauh, setiap model ini punya pendekatannya masing-masing dalam pelatihan dan pengembangan diri. Tapi yang pasti, kecerdasan emosional penting banget dalam kehidupan sehari-hari—baik buat hubungan pribadi, kerjaan, maupun perkembangan diri sendiri.
Otak Emosional
Otak emosional (Emotional Brain atau EB) adalah bagian dari otak manusia yang bertugas menghasilkan emosi. Otak ini bekerja secara otomatis tanpa kita sadari, tapi tetap memproses informasi yang sama seperti otak logika kita (Thinking Brain atau TB). Karena otak emosional bekerja lebih cepat, kita seringkali bertindak dulu sebelum berpikir. Setelah itu barulah otak logika “menyusul”, tapi kadang nggak bisa jelasin kenapa kita tadi bertindak begitu — karena reaksi spontan itu datangnya dari otak emosional, bukan dari pemikiran yang logis.
Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan jadi makin tertarik meneliti bagian otak yang mengatur emosi. Area yang bertanggung jawab terhadap respon emosional ini disebut sistem limbik. Nama “limbik” sendiri asalnya dari kata Latin limbus yang artinya “pinggiran”, karena letaknya memang di pinggiran bagian tengah otak. Ini juga menandakan bahwa kajian soal sistem limbik masih dianggap sebagai area penelitian yang belum sepenuhnya diterima secara mainstream.
Istilah sistem limbik pertama kali dipakai tahun 1952 untuk menggambarkan sekelompok struktur otak yang saling berhubungan dan berada di sekitar tengah otak. Sistem ini dulu juga dikenal sebagai otak visceral, karena dianggap sebagai bagian otak purba yang kita warisi dari hewan mamalia dan digunakan manusia primitif untuk mengatur perilakunya. Meskipun sekarang kaitan dengan hewan itu sudah dipertanyakan, konsep sistem limbik masih tetap dipakai.
Walaupun belum ada kesepakatan struktur apa saja yang termasuk dalam sistem limbik, kebanyakan peneliti menganggap sistem ini terdiri dari beberapa bagian dari korteks serebral (bagian luar otak yang sering disebut gray matter) yang terhubung ke inti struktur di bawahnya, dan menyambung sampai ke batang otak bagian atas.
Fungsi sistem limbik juga masih diperdebatkan. Dulu dianggap hanya mengatur emosi dan motivasi, tapi sekarang sudah dikaitkan juga dengan kemampuan berpikir, mengingat, fungsi seksual, pengolahan informasi sensorik, dan motorik. Ada juga yang percaya sistem limbik berperan penting dalam membentuk pengalaman pribadi kita — yang membuat kita jadi “diri kita”.
Penelitian otak modern kebanyakan fokus pada fungsi sensorik dan kognitif, karena lebih mudah diuji di lab. Tapi sebenarnya, otak bukan cuma soal logika dan pancaindra aja. Semua tujuan, harapan, keinginan, dan ketakutan juga berasal dari otak, dan kemampuan kita mengekspresikan emosi adalah bagian penting dari perilaku manusia. Jelas juga bahwa otak emosional bisa memengaruhi keputusan yang dibuat oleh otak berpikir, dan sebaliknya.
Karena itu, ilmu saraf (neuroscience) sekarang makin serius mempelajari otak emosional. Penelitian meliputi semua hal: mulai dari gen dan molekul, aktivitas sel otak (neuron), cara kerja obat-obatan terhadap sistem saraf, perilaku, simulasi komputer tentang kerja otak, sampai pemindaian otak manusia normal dan pasien gangguan neurologis atau kejiwaan.
Sekarang para ilmuwan tahu bahwa amigdala — bagian dari sistem limbik yang dianggap pusat emosi — berperan besar dalam memproses dan menyimpan memori yang berkaitan dengan emosi. Amigdala ini bentuknya kayak kacang almond dan letaknya di bagian dalam lobus temporal otak, baik pada manusia maupun hewan bertulang belakang lainnya.
Kenapa Kita Bisa Bertindak Emosional?
Penelitian terbaru di bidang ilmu otak menemukan bahwa banyak informasi yang kita lihat dan dengar bisa langsung masuk ke amigdala tanpa melewati bagian otak rasional (neokorteks) yang biasanya bertugas menganalisis dan membuat keputusan. Artinya, kita sering merasa dan bertindak sebelum sempat berpikir logis.
Cara paling mudah untuk meneliti reaksi emosi di amigdala adalah dengan eksperimen rasa takut ala Pavlov. Hasil riset menunjukkan bahwa saat seseorang mengalami ketakutan, rangsangan dari lingkungan langsung nyambung ke amigdala, lalu membentuk asosiasi dengan memori tertentu.
Semakin sering sinyal ini dilewatkan, semakin cepat juga reaksi tubuh muncul. Contohnya seperti diam membeku (freeze), detak jantung makin cepat, napas memburu, dan keluarnya hormon stres. Ini adalah reaksi otomatis.
Nah, supaya kita nggak gampang terpancing emosi, kita perlu yang namanya kecerdasan emosional. Tapi bukan berarti semua emosi harus ditekan. Contohnya, rasa takut itu penting untuk menjaga keselamatan kita. Jadi kalau terlalu cepat menekan rasa takut, kita malah bisa menempatkan diri dalam bahaya.
Yang penting adalah membedakan antara bertindak karena emosi dan bereaksi karena emosi. Kalau kita berpikir kata “bertindak” itu berarti sesuatu yang bisa kita kontrol, maka sebenarnya kita bisa mengendalikan emosi karena itu cuma aksi yang bisa kita atur. Walaupun rangsangannya nyata dan reaksi awalnya tulus, kalau kita terus-menerus menunjukkan emosi itu setelah punya waktu untuk berpikir tenang, berarti kita sebenarnya sudah bisa memilih untuk tidak terlalu larut. Itulah esensi dari kecerdasan emosional — bisa mengelola emosi supaya nggak jadi drama berkepanjangan.
Saran sederhana yang sering dikasih buat orang yang gampang meledak adalah: ambil napas dalam sebelum bereaksi. Ini masuk akal karena emosi bisa meledak duluan sebelum otak rasional kita sempat mengatur situasi. Dengan tarik napas dulu, kita kasih waktu buat otak logika mikir dan ngatur ulang reaksi kita.
Apa Itu “Emotional Hijacking”?
Emotional hijacking itu adalah kondisi saat bagian emosional dari otak kita “mengambil alih kemudi” dan mengalahkan bagian otak yang biasanya mikir logis. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ.
Saat emosi kita meledak—kayak pas panik berat—reaksi kita bisa langsung jalan tanpa sempat mikir dulu. Dalam situasi kayak gini, bagian otak yang biasa kita pakai buat mikir jadi “mati kutu”, karena ditahan sama reaksi emosional tadi.
Ini semua gara-gara bagian otak yang namanya amigdala. Amigdala itu kerjaannya buat jaga-jaga supaya kita bisa bertahan hidup. Jadi, bukan buat mikir rumit atau nyari solusi. Orang yang sering ngalamin serangan panik biasanya sadar kok kalau reaksi mereka nggak masuk akal, tapi mereka nggak bisa ngapa-ngapain karena bukan otak logis yang sedang “on”.
Emotional hijacking bisa kejadian sama siapa aja tiap hari, dengan tingkat yang beda-beda. Dan bentuknya nggak selalu se-ekstrim serangan panik atau marah-marah. Gaya hidup zaman sekarang yang serba cepat dan penuh tekanan bikin kita sering hidup dalam keadaan “tegang terus”, gampang banget kesamber emosi, apalagi kalau kita lagi stres atau berurusan sama situasi yang pernah bikin emosi di masa lalu.
Kalau udah gitu, otak kita kayak udah siaga tempur, tinggal nunggu pemicu dikit aja langsung meledak.
Di Tempat Kerja, Bisa Bikin Kacau
Kalau sampai terjadi di tempat kerja, emotional hijacking bisa jadi sumber masalah besar. Hubungan antar orang bisa rusak, kerjaan bisa mandek. Bahkan rasa percaya diri kita sendiri bisa ikut hancur, atau kita jadi kehilangan kepercayaan sama rekan kerja.
Ciri-ciri kamu lagi “dijajah” sama emosi tuh biasanya muncul rasa capek, frustasi, jengkel, marah, sedih, takut, atau perasaan-perasaan lain yang sebenernya nggak ada tempatnya di suasana kerja profesional. Kadang bisa muncul secara halus, misalnya pas kamu lagi ngomong sama orang yang kesannya nggak dengerin kamu.
Nah, rasa kesal yang makin naik itu tandanya kamu udah mulai kena hijack sama emosi kamu sendiri. Bisa aja nggak sampai meledak, tapi kalau kamu ngerasa emosi yang nggak pada tempatnya, berarti kamu udah kena.
Yang paling kelihatan adalah: butuh waktu berapa lama buat kamu balik ke kondisi normal lagi. Selama pikiran kamu masih terus muter-muter di masalah tadi, berarti kamu belum benar-benar lepas dari hijack emosional itu.
Gimana Cara Menghadapinya?
Salah satu cara terbaik buat ngembaliin keseimbangan emosi kamu adalah sadar kalau kamu lagi dihijack. Langkah pencegahan terbaik adalah kenali pemicunya sejak awal. Kalau kamu tahu ada rekan kerja yang sering bikin kamu kesel, kamu harus belajar buat ngatur ulang reaksi kamu. Ganti rasa marah dengan humor bisa bantu banget.
Berikut 3 langkah simpel buat menghindari emotional hijacking di tempat kerja:
1. Kelola Diri Sendiri
Tarik napas dalam-dalam dan hadapi rasa cemas, marah, atau frustrasi kamu. Ini momen yang bagus buat latih kemampuan kamu dalam mengatur respons emosi. Pikirin gimana sih kamu pengen situasinya berjalan, dan fokus ke arah itu. Coba juga pahami sudut pandang lawan bicara kamu, biar kamu bisa siap-siap kalau mereka nyebelin lagi dan tahu cara ngadepinnya lebih kalem.
2. Kelola Tim
Selalu minta kejelasan tentang apa pun yang kamu kerjakan bareng tim. Salah paham atau bingung bisa bikin frustrasi berat. Pastikan semua orang tahu kamu pengen dilibatkan dan pendapatmu dihargai. Nggak usah malu buat tanya atau bahkan menolak ide/metode yang nggak kamu setujui. Mungkin awalnya agak tegang, tapi itu lebih baik daripada kamu nyesel dan akhirnya kena hijack emosi berhari-hari.
Beberapa orang bahkan hidup bertahun-tahun dengan perasaan kesal dan penyesalan gara-gara nggak berani ambil sikap. Itu juga termasuk hijack emosional yang nggak selesai-selesai.
3. Minta Dukungan
Kalau kamu udah merasa udah berusaha keras tapi masih aja dihalangi, laporkan ke atasan. Buka semuanya dengan jujur. Ingat, hijack itu biasanya datang tiba-tiba. Tapi kalau kamu jadwalkan waktu khusus buat ngobrolin masalahnya, kamu jadi punya kendali dan bisa atur situasi supaya nggak meledak.
Kalau kamu bisa ngelola ini semua dengan baik, kamu nggak cuma jadi lebih tenang, tapi juga makin jago dalam mengatur emosi dan komunikasi di dunia kerja. Itu namanya kecerdasan emosional—dan itu sama pentingnya dengan kecerdasan otak!
Cara Menguatkan Kecerdasan Emosional (EI) & Bikin Kecerdasan Kamu Makin Terpakai
Kalau mau ngomongin soal ini, kita harus paham dulu kalau kecerdasan seseorang (IQ) bisa banget terganggu kalau orang itu nggak bisa ngatur emosinya dengan baik. Dengan kata lain, kalau kamu kurang dalam hal kecerdasan emosional, bisa jadi kemampuan mikir kamu juga ikut terganggu.
Orang zaman dulu sering bilang, ini soal menyeimbangkan antara logika dan perasaan. Tapi, sekarang kita tahu bahwa bagian yang ngatur emosi juga ada di otak. Jadi, intinya adalah memperbaiki hubungan antara “otak yang mikir” dan “otak yang ngerasa”.
Karena emosi bisa “membajak” proses berpikir kita, ya jelas aja itu bisa bikin kecerdasan kita jadi nggak maksimal. Gimana kamu bisa mikir jernih kalau lagi dibanjiri perasaan tertentu dan nggak bisa pakai logika? Nah, ini poin utamanya.
Faktanya, ada lho orang yang IQ-nya tinggi banget, tapi hidupnya berantakan cuma karena mereka nggak bisa ngatur reaksi emosinya. Kadang sampai jadi masalah kejiwaan juga. Contohnya ya tipe-tipe “profesor jenius tapi kacau”—pintar banget, tapi terlalu dikendalikan emosi sampai nggak bisa menunjukkan potensi terbaiknya.
Sebetulnya, kecerdasan emosional ini bisa juga disebut sebagai akal sehat. Karena IQ tinggi tapi nggak punya akal sehat, ya percuma juga. Orang pintar yang nggak punya akal sehat bisa kesulitan menyelesaikan masalah, karena mereka nggak bisa lihat situasi apa adanya.
Makanya, istilah kayak “street-smart” alias cerdik di kehidupan nyata juga bisa dianggap mirip dengan kecerdasan emosional. Karena orang yang street-smart itu biasanya lebih tenang dan rasional dalam situasi yang bikin orang lain gampang kebawa emosi.
Sebenernya, mungkin istilah “IQ” itu nggak tepat juga kalau kita ngomongin soal nambah kecerdasan mikir lewat penguatan emosi. Soalnya IQ itu cuma angka dari hasil tes di satu waktu, tanpa ngitung faktor-faktor di dunia nyata yang bisa bikin orang IQ tinggi sekalipun gagal total kalau situasinya ribet banget.
Jadi, penguatan kecerdasan emosional itu lebih ke arah bikin kamu lebih jago nyelesaikan masalah di dunia nyata. Karena kalau kamu bisa ngatur emosi, kamu bisa mikir lebih jernih. Ini bukan soal ningkatin IQ, tapi lebih ke ngebuka jalan supaya IQ kamu bisa benar-benar kepakai meskipun situasinya lagi sulit.
Semua ini dimulai dari kemampuan kamu buat ngontrol reaksi emosi pertama kali saat kamu kena rangsangan tertentu. Karena kalau kamu langsung kebawa emosi, secanggih apa pun otak kamu, ya nggak ada gunanya.
Kuncinya adalah pakai logika dan mikir dulu sebelum overreact atau kebawa perasaan. Misalnya dengan:
Belajar ngatur emosi yang kuat kayak marah, kecewa, atau takut.
Belajar empati—bisa ngerasain posisi orang lain.
Dengerin orang lain tanpa buru-buru nge-judge atau ngerendahin.
Kemampuan-kemampuan ini bisa lebih menentukan arah hidup kita daripada sekadar angka IQ.
Dan satu hal lagi, jangan lupa kalau kestabilan emosi kita juga bisa ngaruh banget ke orang lain. Misalnya, kalau kita bisa tetap tenang dan nggak marah-marah ke orang lain, itu nggak cuma bikin kita lebih damai, tapi juga ngajarin mereka bahwa emosi itu bisa dikontrol. Bisa jadi mereka malah terinspirasi buat belajar ngatur emosi mereka juga.
Strategi Mengenal Diri Sendiri
Cara Ngatur Diri Biar Nggak Gampang Kebawa Emosi
Menurut penulis Yunani kuno bernama Pausanias, kalimat “Kenali dirimu sendiri” dulu tertulis di depan kuil Apollo di Delphi. Kalimat ini juga sering dikaitkan sama para filsuf Yunani, termasuk Socrates.
Intinya gini: kamu nggak akan bisa ngatur diri dengan baik kalau belum ngerti apa yang bikin kamu bersikap kayak sekarang. Kesehatan mental dan emosimu sangat tergantung dari seberapa paham kamu sama dirimu sendiri, dan kemampuan kamu buat berubah kalau ternyata ada sikap kamu yang harus diperbaiki.
Kenapa Penting Mengenal Diri?
Kenal diri itu soal ngulik kepribadian, nilai hidup, keyakinan, kebiasaan, dan kecenderungan kita masing-masing. Kalau udah paham sama diri sendiri, kita jadi lebih mudah buat berubah dan ngembangin hal-hal yang kita kuasai.
Kenal diri adalah langkah awal buat bikin tujuan hidup. Soalnya, gimana mau tahu mau ke mana, kalau kamu sendiri belum tahu siapa kamu? Misalnya kamu pengen terkenal dan kaya, tapi belum tahu apakah kamu bisa tahan sama tekanan dan tuntutan dari itu semua. Bisa-bisa hidupmu malah makin kacau. Dan ini sering banget kejadian di dunia nyata.
Hal-hal yang Bisa Kamu Perhatikan Buat Kenal Diri:
1. Gaya Belajar yang Cocok
Setiap orang punya cara belajar yang beda-beda. Kalau kamu salah pilih gaya belajar, kamu bisa ngerasa bodoh padahal sebenarnya bukan. Umumnya ada tiga jenis:
Auditori: Lebih paham kalau belajar dengan cara mendengarkan.
Visual: Harus lihat bentuk visual seperti gambar atau tulisan.
Kinestetik: Lebih nyambung kalau belajar sambil praktik langsung.
Masih ada banyak sub-jenis lainnya juga. Jadi penting banget tahu mana gaya yang cocok, supaya kamu nggak gampang kehilangan fokus dan bisa usaha lebih buat menyerap pelajaran.
2. Bakat di Bidang Tertentu
Kamu perlu tahu apakah kamu punya bakat alami di bidang akademik, olahraga, seni, dan sebagainya. Dari situ kamu bisa manfaatkan kekuatanmu dan coba perbaiki kekuranganmu.
3. Sifat atau Kepribadian
Apakah kamu cenderung introvert atau extrovert? Sensitif atau suka nge-judge?
Misalnya, orang introvert yang nggak sadar emosinya bisa gampang “meledak” saat harus tampil di depan umum.
4. Keyakinan Agama & Politik
Kalau kamu peduli sama hal ini, penting juga buat tahu posisi kamu ada di mana. Jadi saat diskusi atau debat, kamu bisa tetap tenang, pakai logika, dan nggak emosian. Kadang, yang paling bijak itu justru diam.
5. Nilai Hidup (Values)
Termasuk etika, moral, dan integritas. Ini adalah dasar karakter kamu. Kamu juga perlu sadar kalau pandangan kamu mungkin bisa bikin orang lain tersinggung, jadi tahu kapan harus ngomong dan kapan lebih baik diam.
Ngatur Diri Bukan Cuma Soal Suka dan Nggak Suka
Karena emosi kita bisa naik turun setiap hari, kita perlu strategi supaya kita tetap bisa ngontrol diri semaksimal mungkin.
Fokus utama dalam kecerdasan emosional:
Kesadaran Emosi
Bisa ngenalin emosi sendiri (marah, sedih, takut, senang), dan juga bisa nangkep emosi orang lain, meskipun mereka nutupin.
Ngatur Emosi
Bisa ngontrol dan mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat.
Fleksibel Secara Emosional
Bisa bangkit dari stres, kehilangan, atau kejadian yang bikin mental down.
Gunakan Emosi Saat Ambil Keputusan
Seimbangin antara logika dan perasaan, jangan berat sebelah.
Gimana Biar Lebih Sadar Secara Sosial?
Kesadaran sosial itu soal peka terhadap lingkungan sosial, dan bisa menyesuaikan diri supaya interaksi kamu sama orang lain jadi lebih positif. Hasil akhirnya? Kamu jadi punya skill sosial yang lebih oke.
Langkah-langkah jadi lebih sadar sosial:
1. Cari tahu situasi sosial seperti apa yang bikin kamu nggak nyaman. Terus, ubah cara kamu bersikap biar tetap bisa menghadapinya dengan tenang.
2. Peka sama sikap orang lain yang bisa bikin kamu reaktif. Karena kamu nggak bisa ngubah orang lain, jadi ubahlah cara kamu menyikapi mereka.
3. Tanggung jawab atas sikapmu sendiri. Jangan gengsi minta maaf kalau kamu salah atau bersikap kurang sopan.
4. Minta pendapat jujur dari orang lain soal gimana kamu bersikap ke mereka. Terima kritik maupun pujian, dan ubah sikap kalau perlu.
5. Sadari bahasa tubuhmu. Bahasa nonverbal sama pentingnya kayak kata-kata. Bahasa tubuh yang positif bisa bantu banget dalam komunikasi.
6. Latih diri buat mendengar dengan benar. Dengerin dulu sampai selesai sebelum kamu membalas atau menyela.
7. Jangan berharap semua berubah dalam semalam. Kalau kamu ubah terlalu banyak sekaligus, kamu bisa stres sendiri dan malah kejebak emosi.
8. Manfaatkan sifat positifmu. Pakai itu buat mendekatkan diri sama orang lain.
Cara Ngatur Hubungan dengan Orang Lain
Ngatur hubungan sama orang lain itu harus dimulai dari ngatur diri sendiri dulu. Kamu nggak bisa maksa orang lain buat berubah, tapi kamu bisa nunjukin contoh yang baik. Dari situ, bisa aja mereka ikut berubah karena pengaruh dari kamu.
Cara Mengelola Hubungan dengan Orang Lain
Baik di rumah maupun di tempat kerja, hubungan antar manusia harus dikelola. Soalnya, hubungan nggak bisa dibiarkan begitu aja atau jadi “jalan di tempat.” Supaya bisa berjalan dengan baik, hubungan itu harus terus berkembang dan tumbuh. Hubungan kerja yang sehat itu dinamis, bikin semua orang tetap semangat dan tampil maksimal. Ini artinya kita harus aktif, mau hadapi masalah langsung, cari solusi, dan terus cari cara untuk memperbaiki keadaan.
Kalau orang-orang berada dalam hubungan yang dikelola dengan baik, mereka bakal merasa satu visi, ikut terlibat, dan termotivasi. Mereka merasa kebutuhan mereka diperhatikan, cara kerja mereka dihargai, dan kontribusi mereka diakui. Intinya, orang pengen merasa penting buat tim atau organisasi, dan kerja mereka punya arti buat tujuan bersama.
Komunikasi, seperti biasa, adalah kunci untuk membangun hubungan yang baik. Soalnya, kalau nggak ada komunikasi, nggak akan ada yang tahu perasaan satu sama lain—sampai akhirnya unek-unek numpuk dan meledak jadi masalah. Komunikasi yang efektif itu soal bertanya dan benar-benar mendengarkan jawabannya.
Humor juga bisa banget bantu mempererat hubungan. Nggak harus jadi becandaan yang nggak serius, malah sebaliknya, kadang kelucuan sehat bisa mencegah sikap yang asal-asalan. Tapi jangan juga terlalu banyak minta ini-itu ke orang lain. Kita harus masuk akal. Kalau tuntutan kita nggak realistis, orang bisa jadi kesal dan males kerja bareng.
Orang lain juga pengen diperlakukan dengan adil—adil sesuai dengan sikap mereka dan juga dibandingin dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Konsistensi itu penting biar orang punya ekspektasi yang jelas dan bisa nerima kalau kita harus ambil keputusan yang nggak enak. Kalau semua tahu aturan yang berlaku buat semua orang, mereka lebih bisa nerima tanpa baper.
Dan jangan lupa bilang “tolong” dan “terima kasih.” Kelihatannya sepele, tapi dampaknya besar banget buat kualitas hubungan. Apalagi kalau yang bilang itu adalah orang yang punya posisi lebih tinggi—kata-kata sederhana itu bisa nunjukin respek dan bikin suasana kerja jadi lebih hangat dan positif.
10 Latihan untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional (EI) Tim Kamu
Latihan apapun yang dilakukan di tempat kerja biasanya cukup rawan. Banyak orang cuma mau datang kerja, ngelakuin tugasnya, lalu pulang, tanpa pengen ikut campur soal emosi atau perasaan mereka. Mereka juga nggak mau emosinya dimainin-mainkan.
Latihan untuk meningkatkan kecerdasan emosional pasti bakal berhubungan sama emosi dan masalah emosional, dan pastinya ada beberapa orang yang terang-terangan nolak ide ini karena merasa nggak cocok di lingkungan kerja. Ada juga yang merasa gitu tapi nggak berani ngomong karena takut bikin suasana jadi nggak enak. Perasaan nggak nyaman ini justru bisa jadi latihan awal.
Kalau kamu yakin latihan kecerdasan emosional ini penting, kamu harus jelasin dulu semua manfaatnya, baik buat masing-masing orang maupun buat tim secara keseluruhan. Latihan yang nggak jelas tujuannya malah bisa bikin orang bingung dan jadi masalah baru.
Hal terakhir yang kamu mau adalah bikin anggota tim kamu jadi stress atau bete karena kamu malah bikin suasana hati mereka jadi lebih buruk, padahal tujuan latihan ini untuk memperbaiki keadaan.
Jadi, harus ada tingkat kepercayaan yang cukup dulu di tempat kerja supaya latihan ini bisa berhasil. Tim yang paling butuh kecerdasan emosional biasanya juga yang paling susah menerima latihan seperti ini.
Kalau kamu mau lanjut, ini beberapa contoh latihan yang bisa kamu coba:
1. Tanggapan Jujur
Minta tim kamu untuk bilang jujur gimana perasaan mereka ketika diminta ikut latihan ini. Cari tahu respon emosional mereka, lalu diskusikan apa yang bisa kamu pelajari dari reaksi sosial dan kemampuan mereka mengatur perasaan dalam situasi sosial.
2. Dompet, Tas, atau Kantong
Latihan ini fokus ke gimana peserta mengeksplorasi perasaan mereka lewat cerita tentang barang pribadi yang mereka bawa. Ini bisa memunculkan pola-pola perilaku yang bisa didiskusikan.
3. Menamai Perasaan
Latihan ini bantu peserta mengenal kosakata buat perasaan mereka dan ngenalin ide kalau perasaan itu bisa berubah kalau kita sadar dan perhatiin keberadaannya. Bisa juga didiskusikan bagaimana kita merespon tiap emosi.
4. Kata-kata Pengingat
Setelah latihan menamai perasaan, fokus ke kata-kata yang dipakai yang mungkin bikin orang terkejut atau heran. Dengan ngerti dampak kata-kata kita, kita bisa berinteraksi lebih baik. Bisa juga buat aturan bahasa yang boleh dipakai di tempat kerja.
5. Menilai Kepercayaan
Diskusi soal gimana perasaan tim tentang kepercayaan, baik secara kelompok maupun individu. Kepercayaan itu penting dalam kecerdasan emosional, jadi bahas kenapa ada yang mudah percaya dan ada yang susah.
6. Observasi
Setelah beberapa latihan, tanya peserta apa yang kira-kira sudah mereka lakukan selama lima menit terakhir. Jawaban simpelnya “ikut latihan,” tapi kamu cari tahu sejauh mana mereka benar-benar terlibat—bahasa tubuh dan ekspresi wajah apa yang mereka tunjukkan, dan apakah itu pengaruhnya positif atau negatif. Ini bantu mereka sadar diri dan sadar gimana komunikasi non-verbal itu jalan terus dan kita harus jaga.
7. Gosip Non-Verbal
Lanjutan dari latihan observasi, latihan ini minta peserta menyebarkan rumor cuma dengan bahasa tubuh dan ekspresi wajah, tanpa kata-kata. Ini nunjukin betapa gampangnya emosi kita dibaca kalau kita nggak sadar gimana ia muncul.
8. Menetapkan Tujuan
Latihan ini buat nyemangatin pikiran positif ke depan, dan minta peserta pakai emosi positif buat mendukung rencana mereka. Mereka diminta diskusi tujuan dan cara mencapainya. Juga bikin mereka sadar kalau perubahan harus mulai dari dalam diri dulu sebelum kelihatan ke luar.
9. Mecahin Masalah
Diskusikan beberapa masalah yang biasa terjadi di kerja dan gimana cara mengatasinya. Bisa juga lewat role-play yang nunjukin cara salah dulu, terus coba lagi dengan pendekatan yang lebih cerdas pakai kecerdasan emosional.
10. Mengubah Negativitas
Latihan ini ngajarin cara mengelola reaksi negatif kita ke orang tertentu dan gimana ubah persepsi negatif jadi lebih positif. Contohnya, kalau biasanya kamu anggap seseorang “keras kepala,” coba lihat sisi positifnya, misalnya “komitmen.” Kadang kamu juga bakal sadar kalau kamu punya sifat sama, cuma kamu kasih label yang lebih bagus ke diri sendiri.
Pikiran Terakhir
Ada sebuah doa yang sering dikutip seperti ini:
“Ya Tuhan, berikan aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa aku ubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku ubah, dan kebijaksanaan untuk tahu bedanya.”
Nggak masalah kamu nggak religius, tapi kebijaksanaan dari kalimat itu benar-benar nggak bisa dibantah. Bahkan, kalimat ini bisa banget dijadiin motto kecerdasan emosional. Karena di situ sudah mencakup semua hal penting buat ningkatin kecerdasan emosional: kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, dan pengelolaan hubungan.
Ketenangan untuk menerima hal yang nggak bisa diubah
Kalau kita nggak bisa nerima dengan ikhlas kalau ada batasan seberapa banyak perubahan yang bisa kita lakukan, terutama ke orang lain, emosinya bisa kacau gara-gara frustasi dan hal-hal kecil yang ngeselin. Kalau nggak bisa nerima fakta yang nggak bisa diubah, ujung-ujungnya emosimu bakal diambil alih sama rasa kesal.
Keberanian untuk mengubah hal yang bisa diubah
Kita harus berani ambil langkah dan bertindak kalau ada hal yang bisa kita ubah. Memang nggak selalu gampang, apalagi kalau itu menyangkut kekurangan emosional kita yang udah kebawa lama, tapi terus-terusan nerima keadaan yang nggak memuaskan itu jelas salah dari sisi emosi. Belajar buat pikirin secara logis dan ngontrol emosi bisa bantu kita bikin rencana yang bikin perubahan positif.
Kebijaksanaan untuk tahu bedanya
Ini yang paling penting. Kecerdasan emosional harus didukung oleh kecerdasan berpikir kita. Otak emosional kita harus dapat dan terima arahan dari otak rasional supaya keputusan dan reaksi kita sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi.
Sekian Cara Ngatur Diri Biar Nggak Gampang Kebawa Emosi, Semoga Bermanfaat. Baca Juga Cara Berpikirmu Bisa Membuat Kamu Kaya Selamanya